Jumat, 12 Februari 2010

Berlatih Karate yang Ideal


Sebelum mulai berlatih karate adalah sangat penting menentukan tujuan yang ingin kau raih. Barangkali keputusanmu mulai berlatih karate adalah demi mengejar kekuatan, atau keindahan–dalam beberapa hal kau harus menentukan sasaranmu.Bagi mereka yang ingin meraih sabuk hitam dalam setahun, sangatlah perlu untuk benar-benar memfokuskan tenaga dan melakukan usaha yang penuh dengan komitmen, menyisihkan satu atau dua jam sehari untuk berlatih hari ini dan keesokan harinya.

Bila tujuanmu untuk memperoleh pikiran yang tenang dan damai lewat latihan karate, maka aku tidak akan menganjurkan pendekatan yang terburu-buru, cukup menggunakan waktu dua kali seminggu untuk berlatih. Melalui tujuan meraih ketenangan jiwa, kau akan mampu (di kemudian hari) menyadari telah berhasil meraih kekuatan, dan hasilnya dapat memberikan kasih sayang pada sesama dengan porsi yang lebih besar.

Namun apapun alasannya, hal yang penting adalah bagaimana kau sanggup berlatih berulang kali, dengan menggunakan jadwal rutin yang sesuai dengan irama fisik dan kepribadianmu. Apalagi, kekuatan yang sejati dari manusia memang terletak pada semangat dan ketekunan yang sungguh-sungguh.

Ada banyak orang yang begitu tekun berlatih karate saat di dalam dojo, namun saat memasuki kehidupan orang dewasa mereka menyerah sebab merasa menjadi terlalu sibuk. Meski demikian, jika kau sudah mempersiapkan diri menata pikiranmu sejak awal berlatih, bukan mustahil menyingkirkan halangan semacam itu. Pertama dan yang paling penting, adalah perlunya mempercayai bahwa berlatih karate dengan berkelanjutan akan memberikan kehidupan dan kesehatan untuk waktu yang lebih lama, dan jelas memberikan pengaruh yang positif dalam hidupmu. Dengan demikian sangatlah penting kau membuat komitmen untuk terus berlatih sepanjang waktu.

Diantara banyak orang yang berlatih di dojo pusatku – Shotokan Karate International (SKI) – ada sebagian peserta dengan usia separuh baya yang tentunya seumur dengan instruktur senior yang telah berlatih karate dalam waktu yang lama. Bahkan beberapa dari mereka 30 sampai 40 tahun silam pernah menjadi anggota klub karate di dojo universitas. Mereka datang dan berlatih di dojoku sebab sebagai seorang instruktur, tentunya tidak layak bagi mereka jika berlatih di dojonya sendiri.

Ada juga ibu rumah tangga yang hadir di dojoku. Awalnya para ibu ini hanya mendaftarkan anak-anak mereka yang dirasakan terlalu bandel. Mereka tidak cukup mampu dan merasa puas dalam mendidik anak-anaknya. Namun saat mereka melihat peningkatan dan perubahan yang dialami pada anak-anak mereka, para ibu ini menjadi penasaran dengan alasan dibalik perbaikan tingkah laku anak-anak mereka. Dan selanjutnya mereka memutuskan untuk mencoba merasakan sendiri berlatih karate.

Satu kenyataan yang membuat diriku merasa bangga dan bersyukur adalah para instruktur SKI, baik di dalam dalam luar Jepang, masih tetap aktif dan sehat meskipun usia mereka sudah memasuki 60 tahun.

Umumnya orang menilai bahwa karate adalah aktivitas yang melelahkan. Mereka juga percaya bahwa seiring usia yang bertambah tua maka karate tidak akan mungkin lagi dikerjakan. Namun mereka tidak menyadari bahwa latihan karate sebenarnya tidak menuntut alasan yang rumit dan tidak masuk akal.

Lebih jauh, bagi orang-orang yang mengetahui bahwa fisik mereka mudah lelah, berlatih dua kali seminggu memberikan tingkat yang ideal untuk memulihkan kelelahan. Jika kau menekan dirimu sendiri dengan berlatih 3 – 4 kali seminggu hanya demi meningkatkan kekuatan, usaha ekstra itu jelas akan menyebabkan kelelahan. Walaupun hal itu bisa diredakan dengan kebiasaan, metode pernapasan dan gerak badan untuk menghilangkan kelelahan yang berlebihan.

Dengan porsi latihan karate yang sesuai, adalah mungkin menghilangkan semua bentuk rasa lelah, termasuk lelah badan, otot yang tegang, pikiran yang lelah dan kelesuan mental dan fisik. Latihan yang ideal adalah dua kali seminggu. Jika tujuanmu demi meningkatkan kesehatanmu, maka dua kali seminggu adalah jumlah yang sesuai. Karena latihan karate satu minggu satu kali tentu saja tidak cukup. (Fokushotokan.com)


Diterjemahkan dengan bebas dari buku Hirokazu Kanazawa berjudul Black Belt Karate – The Intensive Course pada pendahuluan dengan judul "Training Twice a Week is the Ideal Schedule." Editing dan alih bahasa oleh Fokushotokan.

Selasa, 02 Februari 2010

NAKAYAMA DAN ULAR BERBISA


Kisah ini diceritakan Oleh Teruyuki Okazaki, pendiri ISKF (International Shotokan Karate Federation). Cerita diambil dari sebagian wawancara antara Okazaki dengan Catherine Pinch yang dimuat dalam ISKF Alaska Newsletter September 2007

Sebelum JKA mempunyai dojo sendiri, sejak aku lulus dari universitas tidak ada tempat bagi kami untuk berlatih karate. Satu-satunya tempat hanyalah dojo-dojo di universitas. Disamping itu aku sibuk bekerja, tujuh hari seminggu di sebuah rumah makan yang ramai. Sebelumnya aku ingin membuka usaha sendiri sebab kupikir dengan itu akan cukup waktu untuk berlatih karate. Ternyata hal itu tidak mungkin karena aku harus bekerja sepanjang waktu hingga aku tidak punya waktu untuk orang lain. Untunglah tidak lama kemudian aku bekerja pada seorang teman yang sangat baik. Dia mengijinkanku beristirahat kapanpun saat aku ingin berlatih karate.

Suatu hari Sensei Nakayama mengajakku menemaninya berkunjung ke Thailand untuk memperkenalkan seni karate. Sebelumnya sebuah undangan untuk mengajar telah sampai, karena itu kami berencana pergi selama dua bulan untuk mengajar, bersantai sambil mempelajari tentang negara itu .

Di Thailand kami melihat banyak hal, dan kami sangat menikmatinya. Salah satu pertunjukan jalanan yang terkenal di Thailand adalah pertarungan antara ular kobra melawan musang. Tontonan itu tersedia setiap hari, dan bagi penduduk lokal sangatlah menarik. Tentu saja Sensei Nakayama takut dengan ular, awalnya dia tidak berani melihat tontonan itu dari dekat. Namun kukatakan padanya,”Sensei, kita disini hanya sebentar. Kita harus mengambil beberapa gambar dari tontonan ini karena kita tidak akan melihat Thailand lagi”.

Begitulah, akhirnya dia merogoh kameranya dan mendekati pertunjukan yang sedang berlangsung. Dia berdiri sejauh-jauhnya dari ular itu sambil sedikit membungkuk untuk mengambil gambar. Sementara itu, disisinya ada sebuah keranjang yang berisi ular. Tanpa diketahui oleh Sensei Nakayama seekor ular muncul dan merayap mendekatinya. Dirinya saat itu benar-benar fokus mengambil gambar hingga tidak menyadari ular lain tengah mendekatinya. Aku berkata,”Sensei, hati-hati dengan ular itu, dia sedang menuju kearahmu. Dengan terlihat sedikit kesal dia hanya melambaikan tangannya padaku agar sabar menunggu. Aku berkata lagi,”tidak Sensei, ada ular sedang mendekatimu”. Tiba-tiba dia melihat kebawah dan terlihat olehnya seekor ular kobra besar nyaris saja mematuknya. Sensei Nakayama langsung melompat ke belakang dengan ketakutan, dan kemudian melarikan diri. Selanjutnya seharian itu aku tidak melihatnya dimanapun.

Saat itu Thai boxing sangat populer di Thailand, dan surat kabar lokal telah mendengar kedatangan kami. Di pemberitaan dimuat bagaimana jadinya jika seorang juara Thai boxing akan melawan praktisi karate dalam sebuah pertandingan. Orang Thailand sangat bangga mempunyai olah raga ini. Beberapa surat kabar ada yang menceritakan tentang kami, bahkan membandingkan karate dengan Thai boxing. Sejak itu hampir setiap hari aku pergi menyaksikan beberapa pertandingan Thai boxing untuk melihat seperti apa bentuknya. Aku sangat percaya diri mampu mengalahkan mereka (saat itu aku juga masih muda). Aku berkata pada Sensei Nakayama,” Sensei aku bisa saja mengalahkan mereka, aku tahu aku mampu”. Saat itu tradisi di Thailand si penantang harus melawan asisten senior lebih dulu. Jika si penantang berhasil mengalahkan si asisten, maka dia baru berhak menantang seniornya. Karena itu aku ingin sekali menantang petarung Thai boxing.

Namun demikian si juara Thai boxing ternyata juga hadir menyaksikan demonstrasi karate kami. Sensei Nakayama kemudian menampilkan teknik dasar karate seperti pukulan, tendangan, tangkisan, pergerakan badan dan berbagai variasi teknik lainnya. Sang juara Thai Boxing akhirnya menyadari bahwa karate mempunyai lebih banyak teknik daripada Thai Boxing. Dia berpendapat pertandingan apapun antara kedua bela diri ini akan menjadi tidak adil. Keduanya terlalu berbeda. Karena itulah kami tidak pernah mengadakan sebuah pertandingan.

Masyarakat lokal tampaknya tidak begitu gembira dengan keputusan kami, dan kami mendapat pemberitaan buruk dari media karenanya. Suatu hari ketika kami sedang berjalan bersama, tiba-tiba seorang anak menghampiri kami. Selanjutnya dengan terang-terangan dia menantang kami untuk berkelahi dengannya. Sensei Nakayama hanya menjawab,”tidak”, dan kami mencoba meneruskan perjalanan. Saat mencoba menghindar, tiba-tiba anak itu melayangkan tendangan ke kepala Sensei Nakayama. Kemudian anak itu telah terbujur pingsan di tanah. Sensei Nakayama telah melakukan sesuatu yang sangat cepat, dan hingga kini aku masih belum tahu apa yang terjadi. Kemudian Sensei Nakayama mengatakan, “lari !”, dan kami segera menyingkir dari tempat itu.

Sensei Nakayama merasa sangat malu dengan perbuatannya telah menyerang anak yang menantangnya tempo hari, karena Master Funakoshi telah melarangnya terlibat dalam perkelahian. Tubuhnya hanya bereaksi ketika tendangan itu mengarah padanya. Dia berpesan padaku agar tidak mengatakan pada siapapun tentang kejadian hari itu, karena Master Funakoshi akan sangat marah padanya. Tentu saja sekarang beliau telah meninggal, sehingga tidak apa-apa jika aku menceritakan kisah ini pada kalian. Apalagi hal itu telah menunjukkan kebesaran dan kerendahan hatinya.

Kejadian lain adalah saat aku dan Sensei Yaguchi membantu Sensei Nakayama di akademi militer Jepang. Setiap tahun ada akademi militer dan Sensei Nakayama diminta mengajar bela diri sebagai bagian program pelatihan. Tentu saja di Jepang ada budaya memberi hadiah pada instruktur, karena itulah beberapa murid bertanya padaku dan Sensei Yaguchi hadiah apa yang disukai Sensei Nakayama. Sensei Yaguchi menjawab (bergurau),”Oh, dia suka dengan ular”. Murid-murid melihat padaku dan akupun mengangguk.,”Ya benar, dia sangat menyukai ular”. Kemudian aku dan Sensei Yaguchi tertawa dengan hal itu. Kami kira murid-murid juga menyadari bahwa kami hanya bercanda dan kamipun melupakannya.

Tidak lama sesudah itu beberapa murid membawa sebuah hadiah yang dibungkus dengan cantik kepada Sensei Nakayama. Saat itu aku dan Sensei Yaguchi juga sedang di kantor bersama Sensei Nakayama. Murid-murid meletakkan hadiah itu diatas meja sambil mengucapkan terima kasih pada Sensei Nakayama atas segala latihan yang telah diberikan. Sensei Yaguchi dan aku samar-samar mendengar suara berdesis berasal dari dalam kotak, dan dengan sangat terkejut kami saling melihat satu sama lain. Kami tidak dapat berkata apapun selain menyadari murid-murid telah menganggap serius perkataan kami tempo hari. Ternyata mereka telah mendaki ke gunung dan menghabiskan banyak waktu berburu sepasang ular yang bagus sebagai hadiah.

Tentu saja, setelah Sensei Nakayama membuka hadiah itu dia segera melemparkannya dan melarikan diri dari ruangan. Sepanjang hari itu kami tidak melihatnya. Karena bingung apa yang harus dilakukan, kami menuju ke rumahnya dan berbicara dengan istrinya. Kami menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dan ketidaktahuan kami bahwa murid-murid ternyata percaya tentang ular itu. Dia hanya tertawa dan berkata tidak perlu khawatir, dia akan berusaha menjelaskan pada suaminya apa yang sebenarnya terjadi. Namun demikian, hal itu tampaknya tidak begitu berhasil. Dia terlanjur sangat marah dan enggan berbicara dengan kami dalam waktu yang lama.

Sumber : http://www.fokushotokan.com/

Senin, 01 Februari 2010

Yasutsune "Ankoh" Itosu


Yasutsune "Ankoh" Itosu

Hikayat para pendekar legendaris tanpa senjata ‘karate’ dari Okinawa, selama ini lebih banyak tersimpan di dojo atau museum setempat dan publikasinya terbatas di kalangan tertentu saja.

Yasutsune "Ankoh" Itosu lahir di Shuri -no Tobaru pada tahun 1830. Ia adalah salah seorang yang mencapai usia lanjut, 85 tahun dan berhasil menjadi ‘meijin’ atau orang sakti mandraguna yang begitu didambakan oleh setiap karateka. Berbagai kisah keperkasaan Itosu tersimpan di memori para murid, rekan, maupun lawan yang pernah berjumpa dengannya. Kemampuannya menahan, atau tepatnya menangkis sabetan samurai dalam suatu pertarungan masih menjadi misteri hingga kini. Di penghujung hayatnya Itosu tetap gesit dan tangguh bila memainkan karatenya. Memang hanya tenaga fisiknya saja yang berkurang karena dimakan usia, namun kesaktiannya tetap saja tidak tertandingi.

Itosu pertama kali belajar karate kepada maestro terkenal, Sokon "Bushi" Matsumura (1796 – 1889) di Shuri, dan kemudian ia juga belajar kepada Kosaku Matsumora dari Tomari. Dari berbagai literatur dan dokumentasi sejarah diketahui bahwa Itosu, bersama-sama dengan sahabatnya, Kanryo Higaonna ((1845 – 1916), dari Naha, menjadi tokoh utama karate di abad ke 19.

Selain karena Itosu menguasai hampir seluruh ilmu yang diajarkan Sokon Bushi Matsumura, ia juga sangat terkenal dan dihormati sebagai penggubah berbagai bentuk dan sistem ‘kata’. Sebagai seorang guru besar, Itosu dikenal karena sangat memperhatikan harmoni antara bentuk postur tubuh dengan jiwa yang kuat agar menghasilkan fungsi tubuh terbaik. Melalui ajaran-ajarannya Itosu memberi bentuk atau format karate aliran Shuri menjadi karate yang terstruktur dengan jelas, mengandalkan pada kecepatan teknik dan gerakan-gerakan praktis.

Dengan penghayatan ‘kata’ Itosu menekankan bahwa karate adalah sebuah pedoman hidup sekaligus perangkat untuk mendapatkan rasa aman dan berani. Jadi bukan hanya sebagai alat beladiri, ‘kata’ juga berfungsi sebagai pembentuk kepribadian seorang karateka.

Sebagai seorang pembaharu, Itosu selalu mencari hal-hal yang dapat memajukan karate. Salah satu usahanya adalah mendorong Gichin Funakoshi untuk memperkenalkan karate ke dunia luar, termasuk ke Jepang.

Dididik Sangat Keras Sejak Kecil

Pertama kali belajar ilmu beladiri, usia Itosu baru tujuh tahun dan langsung diajar oleh ayahnya sendiri. Sang ayah mendidik Yasutsune Itosu dengan keras dan tampak bagi orang lain seperti yang kejam. Itosu kecil kerap diikat badannya dan ditambatkan pada sebuah tiang. Cara melatihnya ‘unik’ karena Itosu dihujani pukulan dari batang-batang kayu. Tentu saja Itosu akan kewalahan dan menangis terkena pukulan karena ia tertambat pada tiang, namun sang ayah baru berhenti ketika Itosu berada di ambang puncak kemarahannya. Begitulah cara Itosu dilatih untuk menumbuhkan "fighting spirit" cara kaum samurai.

Ketika Itosu berusia 16 tahun, ayahnya mengajak serta ke pertemuan dengan maestro karate ternama saat itu, Bushi Matsumura di kediaman dan sekaligus dojonya tak jauh dari kuil Shuri. Kepada Matsumura, ayah Itosu memohon agar anaknya diperkenankan menjadi seorang ‘deshi’ atau seorang satria pejuang sejati yang sangat terhormat harkat dan posisinya. Matsumura, yang terkenal sangat pemilih akan calon-calon muridnya terkesan pada sorot mata Itosu yang memancarkan semangat besar, walaupun tubuhnya tergolong kecil. Matsumura tidak mengatakan setuju atau tidak secara eksplisit, namum ia berujar, seperti yang terekam dalam dokumentasi sejarah karate Okinawa, "Paling penting adalah sikap dan kerja keras untuk menjalani perjalanan hidup kita" ujar Matsumura kepada Itosu yang membung-kukkan badan tanda hormat. Pernyataan tersebut membesarkan hati ayah Itosu karena itu berarti Matsumura berkenan untuk menerima murid baru. Walaupun ayah Itosu dan Matsumura sama-sama termasuk dalam satu keluarga bangsawan Shuri, namun perkara berguru karate harus benar-benar memperhatikan bakat, sikap, dan satu lagi yang pentingyaitu takdir atau suratan. Belum tentu seorang kerabat atau saudara dekat boleh dan bisa berguru kepada Matsumura.

Keesokan harinya mulailah Itosu dilatih oleh sang maestro dengan bersungguh-sungguh. Sejak awal, Itosu tidak pernah luput mengikuti latihan setiap hari dari terbit fajar hingga larut malam. Matsumura memberikan prinsip-prinsip kesetiaan, kepatuhan, semangat, dan daya juang melalui latihan-latihan fisik dan mental yang sangat berat, yang belum tentu mampu dilakukan oleh murid-murid Matsumura yang lain. Ternyata Itosu selain kecerdasannya berada di atas rata-rata, ia juga memiliki mental baja buah dari didikan ayahnya sejak kecil. Hampir tidak ada hari, bulan dan tahun yang dilewatkan tanpa berlatih fisik dan mental, hingga tidak terasa Itosu sudah delapan tahun menimba ilmu. Walhasil, selain sarat akan keterampilan karate, Itosu sudah menjadi seorang pemuda yang tinggi, tegap, dan kuat. Mungkin ia menjadi orang paling tinggi posturnya di seantero kawasan Shuri.

Mengalahkan Banteng Liar

Pada suatu ketika, Itosu melakukan perjalanan ke Naha-shi Azamito hendak menyaksikan pertunjukan adu banteng liar dalam suatu keramaian di perbatasan kota Naha. Ketika hampir sampai ke tempat pertunjukan, terlihat di lembah dekat arena seekor banteng besar yang akan diadu terlihat sedang mengamuk di tengah-tengah arena. Karena kuatnya banteng itu mengamuk dan tidak berhasil ditenangkan oleh petugas pertunjukan, banteng itu malah mendobrak dinding kayu pembatas arena dan langsung menyeruduk siapa saja yang ada di depannya. Serentak para penonton bubar, lari kocar kacir sambil menyelamatkan diri dari serudukan banteng. Bukannya menghindar, Itosu malah menghampiri banteng yang berlari kencang ke arahnya. Sambil mengabaikan peringatan orang-orang yang ngeri melihat banteng sudah merundukkan tanduk dan badannya ke arah Itosu, segera Itosu menggeser badannya ke samping dan menangkap sang banteng sambil mencengkeram kedua tanduk dengan tangannya kuat-kuat. Hening seketika para penonton menyaksikan adegan tersebut. Beberapa saat berlalu, Itosu terus memiting kepala banteng yang berlari tak tentu arah karena kelelahan. Akhirnya, banteng tersebut rubuh ke tanah. Di sela-sela taburan debu tempat jatuhnya banteng tersebut para penonton dengan kagum menyaksikan Itosu menjepit leher banteng dengan kedua rangkulan tangannya disertai derakan bunyi tulang leher banteng hingga akhirnya binatang itu tewas.

Keberhasilan Itosu mengalahkan seekor banteng mengamuk tersebut membuat ia menjadi buah bibir masyarakat. Dari berbagai diskusi di rumah-rumah makan dan berbagai pertemuan komunitas masyarakat di Naha, kemudian muncul spekulasi apakah Itosu bisa mengalahkan para jago karate dari Naha. Hal ini menjadi topik menarik karena saat itu di Naha, sudah sering ada karateka yang mempertunjukkan keahliannya di arena pertarungan bebas. Juara karate saat itu dipegang oleh Tomoyose, yang berbadan kekar dan bertenaga sangat kuat, dan sudah beberapa kali musim pertandingan belum ada yang bisa mengalahkannya. Sedangkan aliran dari Shuri belum terdengar memiliki jagoan yang bisa diandalkan. Pada masa itu aliran atau gaya dari Shuri dianggap terlalu berorientasi kepada keindahan gerak bahkan bisa digolongkan ke dalam pertunjukan tari-tarian saja.

Tidak Terkalahkan

Pada musim panas tahun 1856, Itosu melakukan perjalanan ke kota Naha untuk mencari udara dan suasana baru yang lebih segar karena di Shuri saat itu sangat panas dan lembab cuacanya. Menjelang tengah hari di tengah perjalanan ketika hendak tiba di Naha, Itosu beristirahat dekat lembah bebatuan yang teduh oleh kerimbunan pohon. Di antara suara angin yang menggoyangkan dedaunan, lamat-lamat ia mendengar suara dua orang bercakap-cakap merendahkan karate dari Shuri, yang menurut mereka sangat lembek seperti pemain dari salon saja. Yakin pendengarannya tidak salah, Itosu mendekati kedua orang asing yang masih terus membanggakan jagoannya dari Naha tersebut. Segera Itosu menghampiri kedua orang itu dan mengatakan bahwa mereka keliru jika menganggap karate Shuri hanya sekedar penampilan saja. Untuk itu, Itosu mengumumkan tantangan kepada kampiun dari Naha, Tomoyose.

Pada hari yang ditentukan, Itosu sudah berada di arena pertarungan lebih awal. Sebelum berjumpa Tomoyose, ada tiga orang karateka yang mencoba kemampuan Itosu. Namun dalam beberapa jurus saja Itosu melumpuhkan ketiganya di depan publik setempat. Tak berapa lama, muncullah Tomoyose yang berbadan tegap, agak lebih besar dari Itosu, dengan wajah menyeringai. Segera Itosu menyimpulkan bahwa ia harus menyerang secapatnya dan jangan sampai lawan memanfaatkan tenaga serang Itosu menjadi serangan balik. Sesaat kemudian kedua orang tersebut sudah berada di tengah arena pertandingan. Taruhanpun segera dipasang dengan perbandingan sepuluh banding satu untuk kemenangan Tomoyose.

Secepat kilat Tomoyose melancarkan pukulan keras, yang bisa merobohkan kerbau sekalipun. Itosu segera menghampiri den menangkis kedua tangan lawannya seraya lancarkan pukulan "shuto" ke arah tangan lawan. Secepatnya pula Itosu melompat ke samping menghindari dorongan tenaga yang datang. Seketika itu para penonton mendengar suara berderak seperti dahan patah. Rupanya di tengah arena terlihat sang juara dari Naha, mengerang kesakitan dengan kedua lengannya menjuntai patah. Gempar seluruh penduduk negeri mengetahui Tomoyose dikalahkan orang Shuri.

Tetap Bersahaja

Keberhasilan Itosu mengalahkan Tomoyose menjadi tersohor di seluruh Naha dan tidak sedikit orang ingin mencoba atau mengalahkannya. Namun semua cobaan dan tantangan tersebut berhasil diatasi dengan kemenangan. Itosu tetap bersahaja dan sangat rendah hati.

Itosu kemudian mengajarkan karate disekolah-sekolah menengah dan lanjutan di Okinawa. Karate sudah resmi masuk ke dalam kurikulum sekolah. Sampai pada suatu saat, badan beladiri Jepang dan Okinawa merencanakan pertarungan antara karate dan judo untuk mencari sistem mana yang terbaik, apakah karate dari Okinawa, atau judo dari Jepang. Kali ini, Itosu diminta untuk mau bertanding melawan judoka dari Jepang. Karena pertandingan ini resmi didukung oleh pemerintah. Itosu menyanggupinya. Alasan lainnya karena Itosu ingin menunjukkan kepda murid-muridnya bahwa karate pada dasarnya adalah seni bertarung bukan tontonan.

Jalannya pertarungan antara judo dan karate relatif singkat. Itosu, walaupun saat itu sudah berusia 75 tahun, mampu menerbangkan judoka penantangnya dengan pukulan yang disertai tenaga ‘ki’. Penonton menyadari bahwa Itosu memang belum terkalahkan.

Walaupun tidak ada lagi orang yang mampu menundukkan, Itosu selalu menekankan bahwa karate hanya boleh digunakan pada saat betul-betul terdesak., bukan untuk mencari kemasyhuran atau kalah menang. Jadikanlah karate sebagai tuntunan kehidupan agar bisa mencapai tingkat kedamaian tertinggi.

Murid-murid Yasutsune Itosu

1. Kentsu Yabu (1863-1937)

2. Gichin Funakoshi (1868-1957), Shotokan

3. Chomo Hanashiro (1869 – 1945), Shorin ryu

4. Chotoku Kyan (1870 - 1945), Shorinji-ryu

5. Choki Motobu ( 1871 - 1944), Shorin-ryu

6. Moden Yabiku (1878 - 1941), Kobudo

7. Shosei Kina (1883 - 1980), Uhuchiku Kobudo

8. Chosin Chibana (1885 – 1969), Kobayashi-ryu

9. Ambun Tokuda (1886 –1957), Shorin-ryu

10. Kanken Toyama (1888 – 1966), Shudokan

11. Kenwa Mabuni (1888 – 1957), Shito-ryu

12. Chojo Oshiro (1889 – 1930), Shorin-ryu

13. Shiroma Gusukuma (1890 - 1945),

14. Shigeru Nakamura (1895 – 1969), Okinawa Kempo

15. Choiku Itarashiki,

16. Chomei Nago,

17. Chotei Soryoku, Shorin-ryu



Kata ciptaan Yasutsune Itosu

· Pinan 1 – 5

· Naifuanchin 1 – 3

· Jitte

· Jion

· Jiin

· Bassai (patsai) sho

· Bassai (patsai) dai

· Kusanku (kwanku)

· Gojushiho

· Chinto

· Kusanku dai

· Shiho Kusanku

· Chinte

· Rohai 1 – 3

· Kuniyoshi Kusanku

Bassai dai




Bagi Anda yang yang fokus berlatih kata tentu tidak asing Bassai Dai. Kata ini mempunyai banyak versi dan empat besar aliran karate di Jepang – Shoto, Wado, Goju, Shito – mempunyai versi yang berbeda satu sama lain. Berdasarkan huruf kanjinya kata ini mempunyai makna menembus benteng, namun ada juga yang mengartikan mengalahkan lawan dengan mencari titik lemahnya. Mengapa bahasan kali ini mengambil Bassai Dai, tidak mengambil kata lain yang punya tingkatan kesulitan lebih tinggi ? Ternyata, Bassai Dai adalah kata yang mempunyai nilai historis yang unik.

Bassai Dai nama aslinya adalah Passai. Sedangkan asalnya kata ini tidak begitu jelas. Sama sulitnya dengan mencari tahu kebenaran sejarah dari karate itu sendiri yang pada akhirnya kita harus percaya pada cerita dan legenda. Namun ada beberapa teori yang menyatakan bahwa Bassai Dai bersumber dari kungfu Cina Tinju Singa (begitu kira-kira dalam bahasa Indonesia) yang terlihat dari teknik tangan terbuka dan teknik menjejak lantai. Sementara sumber lain menyatakan kata ini berasal dari kungfu Cina Tinju Macan Tutul yang tampak dari gerakan awal kata ini yaitu serangan dengan kuda-kuda menyilang. Nama singa dan macan tutul sendiri dalam dialek Mandarin adalah “Baoshi”, sementara dalam dialek Fuzhou diucapkan “Baasai”, sedang dalam dialek Quanzhou diucapkan dengan “Pausai”.

Di Okinawa sendiri perubahan dari Passai ini terlihat dari versi yang diperkenalkan oleh Sokon Matsumura – yang dipercaya sebagai tokoh sentral dari semua aliran karate saat ini, sekaligus yang memperkenalkan kata ini dengan Passai – dengan Oyadomori no Passai (setelah ahli karate Kokan Oyadomari memberi nama kata ini) dengan versi modifikasi yang diperkenalkan oleh Itosu yang juga guru dari Funakoshi ketika memperkenalkan karate ke sekolah-sekolah umum.

Versi Masumura terlihat begitu kental dengan teknik Cina sementara milik Oyadomari telah “diOkinawakan”, sedang milik Itosu adalah modifikasi dari keduanya. Termasuk munculnya Bassai Sho yang (diduga) merupakan hasil modifikasi Itosu. Saat membawa karate ke Jepang Gichin Funakoshi juga mengajarkan Bassai Dai dan Sho.

Orang-orang Okinawa sendiri tidak mempunyai definisi yang pasti dari Passai. Di kemudian hari saat Funakoshi mengubah nama kata Shotokan sebagai bentuk modernisasi karate, barulah kata ini mempunyai arti nama yang jelas berdasarkan huruf kanjinya. Makna “benteng” dan “menyingkirkan penghalang” muncul dari huruf kanji Bassai. Namun begitu secara keseluruhan, bentuk kata Bassai milik Shotokan tidak menunjukkan hubungan langsung dengan bentuk aslinya.

Fakta unik, tiga pukulan yama tsuki sebelum akhir kata ini membentuk mirip huruf kanji “gunung”. Hal ini sebenarnya biasa saja mengingat kata Shotokan yang lain seperti Hangetsu dan Jitte juga memuat posisi tubuh yang membentuk huruf kanji ini. Dan kata Shotokan jika diteliti lebih jauh dari embusennya membentuk huruf kanji juga. Contoh lain adalah Jion yang jika dilihat membentuk huruf kanji Budha. Dan memang Jion ada yang mengartikan nama biksu Budha atau nama kuil Budha (Bahkan di Jepang juga festival dengan nama Jion).

Shotokan saat ini melatih dua versi yaitu Dai dan Sho. Versi Bassai Sho lebih pendek dari versi Dai. Itosu memodifikasi kata Passai dan menghasilkan versi Sho. Yang lebih membingungkan lagi bahkan Bassai Sho ditulis sama dengan huruf Cina Ba Ji Xiao yang merupakan bagian dari Ba Ji Da (dari aliran kungfu Ba Ji Ch’uan). Jadi mungkinkan kedua kata ini sejak awalnya sudah berpasangan, dan bukan Itosu yang memodifikasinya ? tampaknya akan tetap menjadi misteri.

kankudai (Ku Shan Ku)



Kanku dapat diterjemahkan sebagai melihat langit, atau menatap langit. Nama kata ini diambil dari gerakan pembukanya yang mengarahkan kedua tangan ke langit. Saat ini Kanku Dai sebagai salah satu kata wajib (shittei kata) Shotokan sesudah Jion. Kanku adalah kata yang sangat tua sekaligus kata dengan banyak versi. Kata ini juga mempunyai sejarah yang unik. Menurut legenda, nama Kanku diambil dari nama atase militer Cina bernama Kung Shiang Chung (dalam lafal Okinawa disebut dengan Ku Shan Ku) yang datang ke Okinawa.

Ketika Funakoshi datang ke Jepang dia menghilangkan tiga huruf kanji Kung Shiang Chung tetapi mengucapkannya dalam lafal Jepang ko Sho Kun untuk menghilangkan kesan budaya Okinawa dan selanjutnya dapat diterima dalam budaya Jepang.

Ku Shan Ku yang selanjutnya dalam Shotokan disebut Kanku Dai. Kata dengan gerakan yang panjang ini adalah kata favorit dari Gichin Funakoshi. Dipilihnya Kanku Dai untuk demonstrasi bagi orang-orang Jepang di Butokukai tahun 1922. Sebagai hasilnya Makoto Gima pendiri Judo sangat tertarik dengan demonstrasi itu dan selanjutnya meminta Funakoshi menetap di Jepang dan mengajarinya teknik-teknik dasar.

Tahukah Anda ternyata untuk belajar Kanku Dai ada beberapa kata wajib yang harus Anda pelajari dulu ? Untuk belajar kata ini seorang karateka setidaknya sudah menguasai seluruh kata Heian (Heian 1 – 5), Tekki Shodan dan Bassai Dai. Dalam Kanku Dai ada begitu banyak variasi teknik mulai dari gerakan peregangan, mengerut, cepat, lambat dan bahkan gerakan merunduk. Kanku Dai dikerjakan seolah-olah menghadapi lawan dalam jumlah yang banyak.

Selain Shotokan, aliran-aliran karate di Jepang juga memasukkan kata yang populer ini dalam kurikulum mereka. Namun dengan nama dan variasi gerakan yang sedikit berbeda pula. Shito Ryu menyebut kata ini dengan Ko Sho kun, Goju Ryu dan Wado Ryu menyebut dengan Ku Shan Ku, sementara Kyokushinkai menyebut dengan Kanku. Barangkali yang membedakan antara versi Shotokan dengan yang lain adalah adanya teknik lompatan sebelum akhir kata ini.

Sebagai pasangan dari Kanku Dai dalam versi Shotokan ada pula Kanku Sho. Kata ini termasuk jenis kata pilihan.

Penting : Tehnik yang cepat dan lamban, penuh tenaga dan lembut, pemekaran dan penciutan, dan lompatan dan membungkuk. Kata ini digunakan jika benar-benar terkepung oleh musuh. Keadaan/situasi juga merupakan hal penting, karena panjangnya kata. Memiliki 65 gerakan dengan waktu aplikasi 90 detik.

Minggu, 31 Januari 2010

Berpikir & Mengembangkan


Selalu berpikir dan berbuat (tsune ni shinen kufu seyo). Prinsip ke-20 adalah yang paling sulit untuk diterjemahkan dengan jelas dalam bahasa Inggris. Apa yang ingin dikatakan oleh Master Funakoshi adalah jika sebuah teknik dasar sudah dipahami, maka adalah kebebasan tiap orang untuk terus memikirkan dan mengembangkan aplikasi baru yang sesuai dengan keadaan. Jalan terbaik untuk melihat lebih dalam pada hal ini adalah dengan memahami peran sesungguhnya dari instruktur.

Istilah “sensei” dalam bahasa Jepang berarti “orang yang sudah lebih dulu” atau “orang yang sudah berpengalaman.” Kata yang lain adalah “shizen”, yang berarti “memberi petunjuk.” Seorang sensei hanya dapat menerangkan atau menunjukkan dasar-dasar, dia tidak dapat melakukan gerakan untukmu. Master Funakoshi tidak pernah berkata, “contohlah apa yang sedang kulakukan,” dia hanya menunjukkan atau memperbaiki gerakan kami. Seorang guru hanya hanya bertindak sebagai seorang pemberi petunjuk karena setiap orang mempunyai keadaan tubuh yang berbeda. Adalah tugas murid untuk mencari tahu lewat caranya sendiri dengan bergantung pada pikiran dan tubuhnya sendiri.

Kenyataannya adalah, kita nyaris tidak tahu apa-apa tentang kata tingkat lanjut. Tidak ada petunjuk manual atau gulungan yang menerangkan gerakan berikut aplikasinya. Karena itulah, yang berperan lebih banyak adalah penafsiran individual. Beberapa aplikasi tertentu mungkin akan berhasil pada orang yang bertubuh tinggi daripada yang pendek, dan begitu pula sebaliknya. Hal terpenting adalah prinsipnya selalu sama. Proses gerakan memukul, menendang, dan sebagainya adalah sama untuk semua orang, tapi tidak ada seorangpun yang baik pukulan atau tendangannya sama persis dengan orang lain.

Instruktur tidak mampu menerangkan rasanya melakukan gerakan yang benar. Hal itu hanya diketahui setelah ratusan kali mengulang hingga orang tersebut dapat mulai mengerti gerakan itu. Keseluruhan dari hal ini adalah memahami esensi karate itu sendiri.

Kapanpun sebagian dari kami bertanya pada Master Funakoshi tentang suatu teknik, dia akan berkata, “kerjakan 1.000 kali sehingga kau akan menemukan jawabannya.” Tentu saja, hanya sedikit orang yang mempunyai waktu untuk itu, tapi cobalah sendiri. Jika kau penasaran bagaimana tubuh dapat melakukan kime (konsentrasi), sebagai contoh, pukulah makiwara berulang kali sampai kau merasakan sesuatu. Sehingga kau akan mengetahui bahwa kau pada permulaan untuk mengerjakan kime yang benar.

Arti yang lain dari prinsip ke-20 adalah setiap orang harus berusaha membawa karate ke tahap berikutnya. Ini adalah aspek mental untuk berlatih, dan tidak ada akhir untuk ini. Hanya dengan pikiran yang jernih kita dapat membuat sesuatu yang baru sekaligus terbuka untuk belajar hal yang baru. Aku tidak berkata membuat teknik baru, aku berkata bahwa saat pikiranmu jernih dan bebas dari ego, maka karate akan menjadi sangat natural.

Ilmuwan mengetahui bahwa alam semesta ini semakin dalam dan dalam. Begitu pula manusia. Gunakan karate untuk memahami dirimu sendiri, dan kau tidak akan mengalami pertentangan. Saat tidak ada lagi konflik dalam pikiranmu, maka kau telah hidup dengan sebenar-benarnya. Inilah anugerah yang sebenarnya diberikan karate pada kita. Karena itu berlatihlah dengan tekun dan gunakan Niju Kun dari Master Funakoshi sebagai petunjuk baik dalam latihan dan hidupmu - Teruyuki Okazaki (Fokushotokan)

Artikel ini ditulis oleh Teruyuki Okazaki (instruktur kepala ISKF) dengan judul “Tsune ni Shinen Kufu Seyo”. Editing dan alih bahasa oleh Fokushotokan.

Kata Shotokan






Kata Shotokan

Kata yang berarti bentuk resmi atau kembangan juga memiliki arti sebagai filsafat. Kata memainkan peranan yang penting dalam latihan karate.

Kata yang berarti bentuk resmi atau kembangan juga memiliki arti sebagai filsafat. Kata memainkan peranan yang penting dalam latihan karate. Setiap kata memiliki embusen (pola dan arah) dan bunkai (praktik) yang berbeda-beda tergantung dari kata yang sedang dikerjakan. Kata dalam karate memiliki makna dan arti yang berbeda. Bahkan kata juga menggambarkan sesuatu. Inilah kata sebagai filsafat.

Karena itulah kata memiliki peranan yang penting sejak jaman dulu dan menjadi latihan inti dalam karate. Gichin Funakoshi mengambil kata dari perguruan Shorei dan Shorin. Shotokan memiliki 26 kata yang terus dilatih hingga kini. Ada yang populer ada pula yang tidak. Masing-masing mempunyai tingkat kesulitan sendiri-sendiri. Karena itu wajib bagi tiap karateka untuk mengulang berkali-kali bahkan ratusan kali.
Kata Arti Nama Asli
Heian Shodan Pikiran yang damai (1) Pinan Nidan
Heian Nidan Pikiran yang damai (2) Pinan Shodan
Heian Sandan Pikiran yang damai (3) Pinan Sandan
Heian Yondan Pikiran yang damai (4) Pinan Yondan
Heian Godan Pikiran yang damai (5) Pinan Godan
Tekki Shodan Satria yang kuat, kuda-kuda yang kuat (1) Naihanchi
Tekki Nidan Satria yang kuat, kuda-kuda yang kuat (2)
Tekki Sandan Satria yang kuat, kuda-kuda yang kuat (3)
Bassai Dai Menembus benteng (besar) Passai
Kanku Dai Menatap langit (besar) Kushanku
Enpi Burung layang-layang terbang Wanshu
Hangetsu Bulan separuh Seishan
Jion Nama biksu Budha, pengampunan Jion
Nijushiho 24 langkah Niseishi
Sochin Memberi kedamaian bagi orang banyak Sochin
Bassai Sho Menembus benteng (kecil)
Kanku Sho Menatap langit (kecil)
Jitte Bertarung seolah-olah dengan kekuatan 10 orang Jitte
Chinte Tangan yang luar biasa Chinte
Meikyo Cermin jiwa Rohai
Jiin Gema Kuil, Dasar kuil
Gankaku Bangau diatas batu Chinto
Wankan Mahkota raja Wankan
Gojushiho Sho 54 langkah (kecil)
Gojushiho Dai 54 langkah (besar) Useishi
Unsu Tangan seperti (menyibak) awan di angkasa Hakko